Rabu, 20 Juni 2012


ALIRAN WAHABI
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

“ILMU KALAM”



DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 8 / TI.D

1.      FARID MIFTAHUL AZIS                        210911133

DOSEN PENGAMPU :R
Hj. SITI AMINAH


JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
MEI 2012



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang

            Akhir-akhir ini marak perkembangan gerakan “keagamaan” yang disebut sebagai gerakan Salafi. Sering mereka mengklaim bahwa mereka hadir bermaksud menghidupkan kembali ajaran ulama salaf untuk menyelamatkan umat dari amukan dan badai fitnah yang melanda dunia Islam. Acapkali gerakan ini menegaskan bahwa kelompok yang selain mereka tidak ada jaminan memberikan keselamatan.
            Pertanyaan yang mendasar yang harus diajukan di sini adalah apakah Salafi itu identik dengan mazhab jumhur, Ahlusunnah? Kalau tidak identik, bagaimana pandangan Ahlusunnah terhadap kelompok Salafi ini (Wahabi)? Bagaimanakah sikap ulama Ahlsunnah terhadap kelompok ini, dan literatur-literatur tekstual apa saja yang telah ditulis oleh para ulama ahli sunnah untuk menjawab pemikiran Wahabi? Dari pertanyaan di atas penulis akan mencoba menjawabnya dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup pendiri Aliran Wahabi?
2.      Bagaimama akidah aliran Wahabiah dan hubungannya dengan aliran Salaf?
3.      Bagaimana cara penyiran akidah Aliran Wahibiah?
4.      Apa saja kritik terhadap aliran tersebut?
5.      Apa saja pengaruh aliran Wahabiah?

BAB II
PEMBAHASAN

1.      RIWAYAT HIDUP PENDIRI ALIRAN WAHABIAH

            Muhammad bin Abdil Wahab (1701 - 1793) lahir di Kampung Ainiyah (‘Ujainah), Najd, Arab Saudi. Beliau berasal dari kabilah Bani Tamim. Buku beliau bertajuk 'Kitab al Tawhid'. Beliau telah mempelajari dari Syeikh Muhamad Sulaiman al-Kurdi, bapaknya yaitu  Syeikh Abdil Wahab dan kakaknya Syeikh Sulaiman bin Abdil Wahab. Setelah dewasa, beliau pergi ke Mekkah untuk mengerjakan haji dan pulang ke kampung halamannya.[1]
            Beliau merupakan seorang ulama pembaharuan dan ahli teologi agama Islam yang mengetuai gerakan salafiah. Wahabi dianggap sebagai ultra-konservatif berbanding salafi. Ia dianggap sebagai gerakan pembaharuan, bukan suatu mazhab. Beliau memperkenalkan semula undang-undang Syariah di Semenanjung Arab. Beliau sangat dipengaruhi oleh Ahmad ibn Hanbal dan Ibn Taimiah. Selama beberapa bulan beliau merenung dan mengadakan orientasi, untuk kemudian mengajarkan paham-pahamnya. Meskipun tidak sedikit orang yang menentangnya, antara lain dari kalangan keluarganya sendiri, namun ia mendapat pengikut yang banyak.[2]
            Ketika ajaran-ajarannya telah menimbulkan keributan di negerinya ia di usir oleh penguasa setempat, kemudian ia bersama keluarganya pindah ke dar’iyah, sebuah dusun tempat tinggal Muhammad bin Sa’ud yang telah memeluk ajaran-ajaran Wahibiah, bahkan menjadi pelindung dan penyiarnya.
2.      AQIDAH ALIRAN WAHABIAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN ALIRAN SALAF.
            Aliran Wahabiah sebenarnya merupakan kelanjutan dari aliran Salaf, yang berpangkal kepada pikiran-pikiran Ahmad bin Hambal dan yang kemudian direkonstruksikan oleh Ibnu Taimiah, bahkan aliran Wahabiah  telah menerapkan dengan lebih luas dan dengan memperdalam arti bid’ah, sebagaimana akibat dari keadaan masyarakat dan negeri Saudi Arabia yang penuh dengan aneka bid’ah, baik yang terjadi pada musim upacara agama ataupun bukan. Muhammad bin Abdil Wahab sendiri telah mampelajari pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah, tertariklah ia dan kemudian mendalaminya serta merealisasikannya dari sekedar teori sehingga menjadi suatu kenyataan.
            Aqidah-aqidah yang pokok dari aliran Wahibiah pada hakikatnua tidak berbeda dengan apa yamg dikemukakan oleh Ibnu Taimiah. Perbedaan yang ada, hanya dalam cara-cara melaksanakan dan menafsirkan beberapa persoalan tertentu. Akidah-akidahnya dapat disampaikan dalam 2 bidang, yaitu bidang tauhid (pengesaan) dan bidang bid’ah. Dalam bidang tauhid mereka berpendirian sebagai berikut :
a.       Penyembahan kepada selain tuhan adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
b.      Orang yang mencari ampunan tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang sholeh termasuk golongan orang musrikin.
c.       Termasuk dalam perbutan musrik memberikan pengantar dalam sholat terhadap nama nabi-nabi atau wali atau malaikat (seperti sayyidina Muhammad)
d.      Termasuk kufur memberikan sesuatu ilmu yang tidak didasarkan atas Al-Quran dan sunah, atau ilmu yang bersumber kepada akal pikiran semata-mata.
e.        Termasuk kufur dan ilhat juga mengingkari qodar dalam semua perbuatan dan penafsiran Al-Qur’an dengan jalan takwil
f.        Dilarang memakai buah tasbih dan dalam mengucapkan nama tuhan dan doa-doa (wirid) cukup dengan menghitung keratan jari
g.       Sumber syariat islam dalam soal halal dan haram hanya Al-Qur’an semata-mata dan sumber lain sesudahnya adalah sunah rasul. Perkataan ulama mutakalimin dan fuqoha’ tentang halal dan haram tidak menjadi pegangan, selama tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut.
h.       Pintu ijtihat tetap terbuka dan siapapun juga boleh melakukan ijtihat, asal sudah memenuhi syarat-syaratnya.
            Hal-hal yang dipandang bid’ah oleh mereka, dan harus diberantas antara lain ialah berkumpul bersama-sama dalam mau’idan, orang wanita mengiring jenazah, mengadakan halakah (pertemuan), dzikir, bahkan mereka merampas buku-buku yang berisi tawasulat, seperti dalailul hairat dan sebagainya. Mereka tidak cukup sampai disitu, bahkan kebiasaan sehari-hari juga di kategorikan dalam bid’ah, seperti rokok, minum kopi, memekai pakaian sutra bagi orang lelaki, bergambar (foto), mencelup (memacari jempol), memakai cincin dan lain-lainya yang termasuk dalm soal-soal yang kecil dan yang tidak mengandung atau mendatangkan paham keberhasilan.[3]
            Muhammad bin Abdil Wahab beriktikat bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar seperti melakukan pembunuhan terhadap muslim tidak dengan alasan yang benar, atau seperti berzina, riba dan minum khamr, meskipun berulang-ulang orang itu tidaklah keluar daari Islam, dan tidak kekal dalam neraka apabila ia tetap bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya.[4]
3.      CARA PENYIARAN AKIDAH-AKIDAH WAHABIAH.
            Kalau Ibnu Taimiah, sebagai pembanagun aliran salaf, menanamkan paham-pahamnya dengan cara menulis buku-buku dan mengadakan pertukaran pikiran pikiran serta perdebatan, maka aliran Wahabiah dalam menyiarkan ajaran-ajaran-ajarannya memakai kekerasan dan memandang orang-orang yang tidak mengikuti ajaran-ajaranya sebagai orang bid’ah yang harus diperangi, sesuai dengan prinsip “amar ma’ruf nahi mungkar”.
            Untuk melaksanakan maksud ini Muhammad Abdil Wahab sendiri bekerja sama dengan pangeran Muhammad bin Sa’ud (wafat 1765 M dan menggantikan ayahnya pada tahun 1724 M), penguasa di Dar’iah pada waktu itu, yang telah memeluk ajaran-ajaranya dan yang juga mengawini anaknya. Sejak saat itu kekuatan senjatalah yang dipakai oleh aliran Wahabiah dalam menyiarkan ajaran-ajarannya. Setelah kedua tokoh tersebut yaitu tokoh agama dan tokoh politik serta pemerintahan meninggal dunia keturunan-keturunannya meneruskan sikap dan kerja sama yang telah dirintis oleh keduanya itu, sehingga aliran Wahabiah dapat merata diseluruh negeri Saudi Arabia. Muhammad bin Sa’ud menyatakan  bahwa  tindakanya tersebut dimaksudkan untuk menegakkan sunah dan mematikan bid’ah.
            Muhammad bin Abdil Wahab merasakan sendiri bahwa khurafat-khurafat sendiri yang menimpa kaum Muslimin di negerinya, bukan hanya terbatas kepada pemujaan kuburan-kuburan, sebagai tempat orang-orang shaleh dan memberikan nadzar kepadanya, tetapi juga menjalar kepada pemujaan kepada benda-benda mati.  Sebagai anak negeri tempat kelahiranya yaitu Yamamah atau Riyadh sekarang, memuja sebuah pohon kurma, karena dianggap oleh mereka dapat memberikan jodoh. Juga tidak sedikit dari penduduk kota Dar’iah tempat ia mulai melancarkan da’waknya, senang mengunjungi sebuah gua yang terletak disana. Perbuatan tersebut dipandang olehnya sebagai suatu macam perbuatab syirik. Karena itu ia menyerukan untuk tidak menziarahi kuburan, kecuali untuk mencari teladan, bukan untuk mencari syafaat dan tawasulat.
            Tindakan kekerasan yang pertama-tama dilakukan adalah memotong pohon kurma yang dianggap keramat. Kemudian setiap kali golongan Wahibiah memasuki suatu tempat atau kota mereka membongkar kuburan dan diratakan dengan tanah, bahkan masjid-masjid pun turut dibongkar, sehingga sehingga penulis-penulis Eropa menyebutkan mereka sebagai “pembongkar tempat-tempat ibadah” (hudamul ma’abid). Sebutan ini, menurut Syekh Abu Zahrah tidak tepat karena bukan masjid itu sendiri yang rusak, melainkan masjid-masjid yang didirikan diatas/disamping kuburan suatu tindakan yang didasarkan atas  pengingkaran Nabi terhadap perbuatan Bani Israil yang membuat kuburan nabi-nabinya sebagai  tempat ibadah.
            Tindakan mereka tidak hanya terbatas kepada pembongkaran kuburan wali-wali atau orang-orang saleh biasa, tetapi lebih jauh lagi. Ketika mereka dapat menguasai Mekkah, banyak tempat-tempat yang bersejarah dimusnahkan seperti tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar RA, dan Ali RA. Ketika mereka sampai di Madinah, kuburan sahabat-sahabat Nabi di Baqi’ diratakan dengan tanah dan cukup diberi tanda-tanda. Kuburan Nabi Muhammad SAW sendiri hampir mengalami nasib yang sama kalau sekiranya mereka tidak takut akan kemarahan dunia Islam.
            Akan tetapi gerakan aliran Wahabiah yang bercorak agama ini dan yang dilindungi oleh kekuatan Raja Muhammad bin Saud, dipandang oleh penguasa Usmaniah yang menguasai negeri Arabia pada waktu itu, sebagai perlawanan dan pembrontakan  terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu penguasa tersebut mengirimkan tentaranya kenegeri Arabia untuk menumpas gerakan tersebut.
            Akan tetapi maksut ini tidak berhasil, kemudian diserahkan penumpasanya kepada kepada Muhammad Ali, gubernur Turki di Mesir, dan ternyata tentaranya yang kuat dapat mengalahkan golongan Wahabiah serta dapat melumpuhkan kekuatanya. Sesudah itu gerakan Wahabiah terbatas dipedalaman suku-suku arab dengan kota Riadh sebagai pusatnya, yang kadang-kadang menunjukkan kegiatanya kalau ada kesempatan dan kadang-kadang menurun kalau mendapat perlawanan yang keras. Dengan kemunduran Khalifaf Turki, maka gerakan tersebut menjadi kuat, sehingga menjadi aliran resmi negeri Saudi Arabia sampai sekarang.  
4.      KRITIK TERHADAP ALIRAN WAHIBIAH
             Demikianlah akidah aliran Wahabiah, sebagaimana kelanjutan dari metode aliran salaf, yang mengambil pokok-pokok akidahnya dari Al-Qur’an dan Hadits. Seperti lazimnya, pada tiap-tiap gerakan baru yang disertai kekerasan, maka terhadap aliran-aliran Wahabiah juga terdapat beberapa kritikan.
            Pertama-tama ialah  bahwa aliran tersebut tidak mengenal perasaan kaum Muslimin, sebab kaum Muslimin dimanapun juga berbangga dengan kubur nabinya dan mencintai sahabat-sahabatnya. Penelanjangan kuburan Nabi dari hiasan-hiasan yang dapat menimbulkan perasaan puas pada waktu mengunjunginya, disamping pembongkaran kuburan sahabat-sahabatnya, kesemuanya cukup menimbulkan kebencian kaum Muslimin terhadap aliran Wahabiah, dimana keadaan tersebut kemudian disalah gunakan oleh penulis-penulis barat, untuk mempertajam rasa permusuhan dikalangan kaum Muslimin dan menghubungkan beberapa perbuatan, kepada golongan Wahabiah, yang sebenarnya mereka sendiri tidak melakukannya.
            Kritik yang lain ialah bahwa aliran Wahabiah melalaikan kemajuan mental dan pikiran di negeri mereka sendiri serta tidak berusaha mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan  dan perkembangan zaman, sedang ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya tidak menghalang-halanginya, bahkan selalu menganjurkanya.
            Selain itu ajaran-ajaran Wahibiah hanya berlaku untuk orang-orang biasa, sedang bagi para penguasa dan keluarga raja, ajaran-ajaran tersebut tidak mempunyai nilai, sebagaimana yang ditunjukkan oleh praktik kehidupan mereka sehari-hari.
            Kritik-kritik tersebut tidak berarti mengurangi penghargaan kita terhadap pribadi Muhammad bin Abdil wahab yang berjuang untuk keagungan akidah islam dan pembersihan noda-noda yang meliputinya. Ia sendiri tidak hanya menyodorkan ajaran-ajaranya kepada orang lain untuk ditaatinya, baik dengan paksa ataupun suka rela, tetapi ia juga mengutus penganjur-penganjurnya untuk memperbincangkan ajaran-ajarannya itu, antara lain ke Mesir pada tahun 1815 M, dimana ajaran-ajarannya itu diperbincangkan bersama-sama dengan ulama-ulama Al-Azar dan perbincangan itu berakhir dengan tercapainya saling pengertian dari ulama-ulama tersebut bahkan diantaranya yaitu Syekh Abdil Huda as-Shahdi, mengatakan sebagai berikut : kalau keadaan aliran Wahibiah seperti yang kami dengar dan kami ketahui, maka kami adalah orang Wahibiah.

5.      PENGARUH ALIRAN WAHABIAH
            Aliran Wahabiah selain telah menimbulkan rasa kebencian pada lawan-lawannya, juga telah memancarkan sinar yang menarik pandangan kaum muslimin, bukan saja dari negeri Saudi Arabia sendiri, tetapi juga dari luar negeri itu. Banyak kaum muslimin yang melakukan haji, setelah melihat keadaan aliran yang baru tersebut, tertarik dengan ajaran-ajarannya dan setelah pulang ke negerinya masing – masing mereka menyiarkan ajaran-ajaran tersebut.
            Negeri-negeri di mana ajaran-ajaran Wahibiaah berkembang ialah :
a.       India
            Di Punjab (India Utara), Sayid Ahmad menciptakan negeri Wahibiah dan memaklumkan jihad terhadap orang-orang yang tidak mempercayai dakwahnya serta masuk di barisannya. Ia haji pada tahun 1822-1823 M. Juga di Bengal penyiaran Islam pada abad yang sama mengalami kepesatan, karena pengaruh golongan Wahibiah.
b.      Aljazair
            Aliran Wahibiah di negeri ini dibawa oleh Imam as-Sanusi
c.       Mesir
            Syekh M. Abdil menyiarkan aliran Wahibiah, meskipun ia tidak mengikatkan diri kepadanya semata-mata, karena ia menggali langsung pokok-pokok madzhab salaf, sejak masa Rosul sampai kepada Ibnu Taimiah, dan sampai Muhammad bin Abdil Wahab. Dasar-dasar pahamnya sama dengan dasar-dasar yang dipakai oleh aliran Wahibiah.
d.      Sudan
            Orang yang membawa paham Wahabiah ke negeri ini ialah Usman danfuju, terkenal sebagai seorang pembaharu, panganjur dan pejuang. Ia pergi ke Mekkah untuk manunaikan haji pada waktu aliran Wahibiah sedang mencapai puncak kepesatannya. Setalah pulang ke negerinya jiwany penuh semangat untuk perbaikan agama dan dakwah Islam, menurut konsepsi aliran tersebut.
e.       Indonesia
            Ajaran-ajaran Wahibiah mula-mula di bawa ke Indonesia oleh tiga orang dari Sumatera barat yang pergi haji pada tahun 1803 M. Ketika mereka berkunjung ke Madinah, mereka tertarik sekali dengan gerakan Wahibiah. Setelah pulang ke negerinya, ajaran-ajaran aliran tersebut diperkenalkan kepada penduduk negerinya. Namun pada akhirnya gerakan mereka menjadi suatu peperangan yang terkenal dalam sejarah Indonesia sebagai “Perang Padri”   



BAB III
KESIMPULAN

            Muhammad bin Abdil Wahab (1701 - 1793) lahir di Kampung Ainiyah (‘Ujainah), Najd, Arab Saudi. Beliau berasal dari kabilah Bani Tamim. Beliau merupakan seorang ulama pembaharuan dan ahli teologi agama Islam yang mengetuai gerakan salafiah. Aqidah-aqidah yang pokok dari aliran Wahibiah antara lain : menyembah kepada selain Allah adalah salah, memberikan ilmu tanpa dasar Al-Qur’an dan Hadis adalah kufur, tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an dengan jalan takwil, dilarang memakai buah tasbih dalam wirid. Muhammad Abdil Wahab sendiri bekerja sama dengan pangeran Muhammad bin Sa’ud dalam meyebarkan ajaranya. Dalam memerangi bid’ah aliran ini tidak segan-segam meratakan kuburan orang-orang sholeh karena di anggap musrik bagi orang yang berdoa di sekitarnya (tawasul).  Aliran ini mendapat kritik dari sebagian umat Islam karena tidak mengenal perasaan kaum Muslimin, sebab kaum Muslimin dimanapun juga berbangga dengan kubur nabinya dan mencintai sahabat-sahabatnya. Kritik yang lain ialah bahwa aliran Wahabiah melalaikan kemajuan mental dan pikiran di negeri mereka sendiri serta tidak berusaha mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan  dan perkembangan zaman. Ajaran Wahabi sendiri telah menyebar keberbagai belahan dunia antara lain, India, Aljazair, Mesir, Sudan dan Indonesia  
DAFTAR PUSTAKA

A.   Syihab, H. Akidah Ahlus Sunnah, Jakarta : Bumi Aksara, 1998
Hanafi, A. Pengantar Teologi Islam, Jakarta : PT. Al Husna Baru, 2003

www.wikipedia.com di akses pada tanggal 16 Juni 2012


[1] www.wikipedia.com di akses pada tanggal 16 Juni 2012
[2] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, ( Jakarta : PT. Pustaka Al-Husna baru, 2003) hal 189-190
[3] Ibid. Hal. 190-192
[4] Z. A. Syihab, Akidah Ahlus Sunah, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1998) Hal. 98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar