ALIRAN
WAHABI
Makalah
Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“ILMU KALAM”
DISUSUN
OLEH :
KELOMPOK
8 / TI.D
1.
FARID MIFTAHUL AZIS 210911133
DOSEN PENGAMPU :R
Hj. SITI
AMINAH
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PONOROGO
MEI 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini marak perkembangan gerakan “keagamaan” yang
disebut sebagai gerakan Salafi. Sering mereka mengklaim bahwa mereka hadir
bermaksud menghidupkan kembali ajaran ulama salaf untuk menyelamatkan umat dari
amukan dan badai fitnah yang melanda dunia Islam. Acapkali gerakan ini menegaskan bahwa kelompok yang selain
mereka tidak ada jaminan memberikan keselamatan.
Pertanyaan
yang mendasar yang harus diajukan di sini adalah apakah Salafi itu identik
dengan mazhab jumhur, Ahlusunnah? Kalau tidak identik, bagaimana pandangan
Ahlusunnah terhadap kelompok Salafi ini (Wahabi)? Bagaimanakah sikap ulama
Ahlsunnah terhadap kelompok ini, dan literatur-literatur tekstual apa saja yang
telah ditulis oleh para ulama ahli sunnah untuk menjawab pemikiran Wahabi? Dari
pertanyaan di atas penulis akan mencoba menjawabnya dalam makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
riwayat hidup pendiri Aliran Wahabi?
2. Bagaimama
akidah aliran Wahabiah dan hubungannya dengan aliran Salaf?
3. Bagaimana
cara penyiran akidah Aliran Wahibiah?
4. Apa
saja kritik terhadap aliran tersebut?
5. Apa
saja pengaruh aliran Wahabiah?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
RIWAYAT HIDUP
PENDIRI ALIRAN WAHABIAH
Muhammad bin Abdil Wahab (1701 - 1793) lahir di Kampung Ainiyah (‘Ujainah), Najd, Arab Saudi.
Beliau berasal dari kabilah Bani Tamim. Buku beliau bertajuk 'Kitab al
Tawhid'. Beliau telah mempelajari
dari Syeikh Muhamad Sulaiman al-Kurdi, bapaknya yaitu Syeikh Abdil Wahab dan kakaknya Syeikh Sulaiman bin Abdil Wahab.
Setelah dewasa, beliau pergi ke Mekkah untuk mengerjakan haji dan pulang ke kampung halamannya.[1]
Beliau
merupakan seorang ulama pembaharuan dan ahli teologi
agama Islam
yang mengetuai gerakan salafiah. Wahabi dianggap sebagai
ultra-konservatif berbanding salafi. Ia dianggap sebagai gerakan pembaharuan, bukan suatu mazhab. Beliau
memperkenalkan semula undang-undang Syariah
di Semenanjung Arab. Beliau sangat dipengaruhi
oleh Ahmad ibn Hanbal dan Ibn Taimiah. Selama beberapa bulan beliau merenung
dan mengadakan orientasi, untuk kemudian mengajarkan paham-pahamnya. Meskipun
tidak sedikit orang yang menentangnya, antara lain dari kalangan keluarganya
sendiri, namun ia mendapat pengikut yang banyak.[2]
Ketika
ajaran-ajarannya telah menimbulkan keributan di negerinya ia di usir oleh
penguasa setempat, kemudian ia bersama keluarganya pindah ke dar’iyah, sebuah
dusun tempat tinggal Muhammad bin Sa’ud yang telah memeluk ajaran-ajaran
Wahibiah, bahkan menjadi pelindung dan penyiarnya.
2. AQIDAH ALIRAN
WAHABIAH DAN HUBUNGANNYA DENGAN ALIRAN SALAF.
Aliran
Wahabiah sebenarnya merupakan kelanjutan dari aliran Salaf, yang berpangkal
kepada pikiran-pikiran Ahmad bin Hambal dan yang kemudian direkonstruksikan
oleh Ibnu Taimiah, bahkan aliran Wahabiah
telah menerapkan dengan lebih luas dan dengan memperdalam arti bid’ah,
sebagaimana akibat dari keadaan masyarakat dan negeri Saudi Arabia yang penuh
dengan aneka bid’ah, baik yang terjadi pada musim upacara agama ataupun bukan.
Muhammad bin Abdil Wahab sendiri telah mampelajari pikiran-pikiran Ibnu
Taimiyah, tertariklah ia dan kemudian mendalaminya serta merealisasikannya dari
sekedar teori sehingga menjadi suatu kenyataan.
Aqidah-aqidah
yang pokok dari aliran Wahibiah pada hakikatnua tidak berbeda dengan apa yamg
dikemukakan oleh Ibnu Taimiah. Perbedaan yang ada, hanya dalam cara-cara
melaksanakan dan menafsirkan beberapa persoalan tertentu. Akidah-akidahnya
dapat disampaikan dalam 2 bidang, yaitu bidang tauhid (pengesaan) dan bidang
bid’ah. Dalam bidang tauhid mereka berpendirian sebagai berikut :
a. Penyembahan kepada
selain tuhan adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
b. Orang yang mencari
ampunan tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang sholeh termasuk golongan
orang musrikin.
c. Termasuk dalam
perbutan musrik memberikan pengantar dalam sholat terhadap nama nabi-nabi atau
wali atau malaikat (seperti sayyidina Muhammad)
d. Termasuk kufur
memberikan sesuatu ilmu yang tidak didasarkan atas Al-Quran dan sunah, atau
ilmu yang bersumber kepada akal pikiran semata-mata.
e. Termasuk kufur dan ilhat juga mengingkari
qodar dalam semua perbuatan dan penafsiran Al-Qur’an dengan jalan takwil
f.
Dilarang memakai buah tasbih dan dalam mengucapkan nama
tuhan dan doa-doa (wirid) cukup dengan menghitung keratan jari
g. Sumber syariat
islam dalam soal halal dan haram hanya Al-Qur’an semata-mata dan sumber lain
sesudahnya adalah sunah rasul. Perkataan ulama mutakalimin dan fuqoha’ tentang
halal dan haram tidak menjadi pegangan, selama tidak didasarkan atas kedua
sumber tersebut.
h. Pintu ijtihat tetap
terbuka dan siapapun juga boleh melakukan ijtihat, asal sudah memenuhi
syarat-syaratnya.
Hal-hal
yang dipandang bid’ah oleh mereka, dan harus diberantas antara lain ialah
berkumpul bersama-sama dalam mau’idan, orang wanita mengiring jenazah,
mengadakan halakah (pertemuan), dzikir, bahkan mereka merampas buku-buku yang
berisi tawasulat, seperti dalailul hairat dan sebagainya. Mereka tidak cukup
sampai disitu, bahkan kebiasaan sehari-hari juga di kategorikan dalam bid’ah, seperti
rokok, minum kopi, memekai pakaian sutra bagi orang lelaki, bergambar (foto),
mencelup (memacari jempol), memakai cincin dan lain-lainya yang termasuk dalm
soal-soal yang kecil dan yang tidak mengandung atau mendatangkan paham
keberhasilan.[3]
Muhammad
bin Abdil Wahab beriktikat bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar seperti
melakukan pembunuhan terhadap muslim tidak dengan alasan yang benar, atau
seperti berzina, riba dan minum khamr, meskipun berulang-ulang orang itu
tidaklah keluar daari Islam, dan tidak kekal dalam neraka apabila ia tetap
bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya.[4]
3. CARA PENYIARAN
AKIDAH-AKIDAH WAHABIAH.
Kalau Ibnu
Taimiah, sebagai pembanagun aliran salaf, menanamkan paham-pahamnya dengan cara
menulis buku-buku dan mengadakan pertukaran pikiran pikiran serta perdebatan,
maka aliran Wahabiah dalam menyiarkan ajaran-ajaran-ajarannya memakai kekerasan
dan memandang orang-orang yang tidak mengikuti ajaran-ajaranya sebagai orang
bid’ah yang harus diperangi, sesuai dengan prinsip “amar ma’ruf nahi mungkar”.
Untuk
melaksanakan maksud ini Muhammad Abdil Wahab sendiri bekerja sama dengan
pangeran Muhammad bin Sa’ud (wafat 1765 M dan menggantikan ayahnya pada tahun
1724 M), penguasa di Dar’iah pada waktu itu, yang telah memeluk ajaran-ajaranya
dan yang juga mengawini anaknya. Sejak saat itu kekuatan senjatalah yang
dipakai oleh aliran Wahabiah dalam menyiarkan ajaran-ajarannya. Setelah kedua
tokoh tersebut yaitu tokoh agama dan tokoh politik serta pemerintahan meninggal
dunia keturunan-keturunannya meneruskan sikap dan kerja sama yang telah
dirintis oleh keduanya itu, sehingga aliran Wahabiah dapat merata diseluruh
negeri Saudi Arabia. Muhammad bin Sa’ud menyatakan bahwa tindakanya
tersebut dimaksudkan untuk menegakkan sunah dan mematikan bid’ah.
Muhammad
bin Abdil Wahab merasakan sendiri bahwa khurafat-khurafat sendiri yang menimpa
kaum Muslimin di negerinya, bukan hanya terbatas kepada pemujaan
kuburan-kuburan, sebagai tempat orang-orang shaleh dan memberikan nadzar
kepadanya, tetapi juga menjalar kepada pemujaan kepada benda-benda mati. Sebagai anak negeri tempat kelahiranya yaitu
Yamamah atau Riyadh sekarang, memuja sebuah pohon kurma, karena dianggap oleh
mereka dapat memberikan jodoh. Juga tidak sedikit dari penduduk kota Dar’iah
tempat ia mulai melancarkan da’waknya, senang mengunjungi sebuah gua yang
terletak disana. Perbuatan tersebut dipandang olehnya sebagai suatu macam perbuatab
syirik. Karena itu ia menyerukan untuk tidak menziarahi kuburan, kecuali untuk
mencari teladan, bukan untuk mencari syafaat dan tawasulat.
Tindakan
kekerasan yang pertama-tama dilakukan adalah memotong pohon kurma yang dianggap
keramat. Kemudian setiap kali golongan Wahibiah memasuki suatu tempat atau kota
mereka membongkar kuburan dan diratakan dengan tanah, bahkan masjid-masjid pun
turut dibongkar, sehingga sehingga penulis-penulis Eropa menyebutkan mereka
sebagai “pembongkar tempat-tempat ibadah” (hudamul ma’abid). Sebutan ini,
menurut Syekh Abu Zahrah tidak tepat karena bukan masjid itu sendiri yang
rusak, melainkan masjid-masjid yang didirikan diatas/disamping kuburan suatu
tindakan yang didasarkan atas
pengingkaran Nabi terhadap perbuatan Bani Israil yang membuat kuburan
nabi-nabinya sebagai tempat ibadah.
Tindakan
mereka tidak hanya terbatas kepada pembongkaran kuburan wali-wali atau
orang-orang saleh biasa, tetapi lebih jauh lagi. Ketika mereka dapat menguasai
Mekkah, banyak tempat-tempat yang bersejarah dimusnahkan seperti tempat
kelahiran Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar RA, dan Ali RA. Ketika mereka sampai di
Madinah, kuburan sahabat-sahabat Nabi di Baqi’ diratakan dengan tanah dan cukup
diberi tanda-tanda. Kuburan Nabi Muhammad SAW sendiri hampir mengalami nasib
yang sama kalau sekiranya mereka tidak takut akan kemarahan dunia Islam.
Akan tetapi
gerakan aliran Wahabiah yang bercorak agama ini dan yang dilindungi oleh
kekuatan Raja Muhammad bin Saud, dipandang oleh penguasa Usmaniah yang
menguasai negeri Arabia pada waktu itu, sebagai perlawanan dan
pembrontakan terhadap kekuasaannya. Oleh
karena itu penguasa tersebut mengirimkan tentaranya kenegeri Arabia untuk
menumpas gerakan tersebut.
Akan tetapi
maksut ini tidak berhasil, kemudian diserahkan penumpasanya kepada kepada
Muhammad Ali, gubernur Turki di Mesir, dan ternyata tentaranya yang kuat dapat
mengalahkan golongan Wahabiah serta dapat melumpuhkan kekuatanya. Sesudah itu
gerakan Wahabiah terbatas dipedalaman suku-suku arab dengan kota Riadh sebagai
pusatnya, yang kadang-kadang menunjukkan kegiatanya kalau ada kesempatan dan
kadang-kadang menurun kalau mendapat perlawanan yang keras. Dengan kemunduran
Khalifaf Turki, maka gerakan tersebut menjadi kuat, sehingga menjadi aliran
resmi negeri Saudi Arabia sampai sekarang.
4. KRITIK TERHADAP
ALIRAN WAHIBIAH
Demikianlah akidah aliran Wahabiah,
sebagaimana kelanjutan dari metode aliran salaf, yang mengambil pokok-pokok
akidahnya dari Al-Qur’an dan Hadits. Seperti lazimnya, pada tiap-tiap gerakan
baru yang disertai kekerasan, maka terhadap aliran-aliran Wahabiah juga
terdapat beberapa kritikan.
Pertama-tama
ialah bahwa aliran tersebut tidak
mengenal perasaan kaum Muslimin, sebab kaum Muslimin dimanapun juga berbangga
dengan kubur nabinya dan mencintai sahabat-sahabatnya. Penelanjangan kuburan
Nabi dari hiasan-hiasan yang dapat menimbulkan perasaan puas pada waktu
mengunjunginya, disamping pembongkaran kuburan sahabat-sahabatnya, kesemuanya
cukup menimbulkan kebencian kaum Muslimin terhadap aliran Wahabiah, dimana
keadaan tersebut kemudian disalah gunakan oleh penulis-penulis barat, untuk
mempertajam rasa permusuhan dikalangan kaum Muslimin dan menghubungkan beberapa
perbuatan, kepada golongan Wahabiah, yang sebenarnya mereka sendiri tidak
melakukannya.
Kritik yang
lain ialah bahwa aliran Wahabiah melalaikan kemajuan mental dan pikiran di
negeri mereka sendiri serta tidak berusaha mengikuti kemajuan ilmu
pengetahuan dan perkembangan zaman,
sedang ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya tidak menghalang-halanginya, bahkan
selalu menganjurkanya.
Selain itu
ajaran-ajaran Wahibiah hanya berlaku untuk orang-orang biasa, sedang bagi para
penguasa dan keluarga raja, ajaran-ajaran tersebut tidak mempunyai nilai,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh praktik kehidupan mereka sehari-hari.
Kritik-kritik
tersebut tidak berarti mengurangi penghargaan kita terhadap pribadi Muhammad
bin Abdil wahab yang berjuang untuk keagungan akidah islam dan pembersihan
noda-noda yang meliputinya. Ia sendiri tidak hanya menyodorkan ajaran-ajaranya
kepada orang lain untuk ditaatinya, baik dengan paksa ataupun suka rela, tetapi
ia juga mengutus penganjur-penganjurnya untuk memperbincangkan ajaran-ajarannya
itu, antara lain ke Mesir pada tahun 1815 M, dimana ajaran-ajarannya itu
diperbincangkan bersama-sama dengan ulama-ulama Al-Azar dan perbincangan itu
berakhir dengan tercapainya saling pengertian dari ulama-ulama tersebut bahkan
diantaranya yaitu Syekh Abdil Huda as-Shahdi, mengatakan sebagai berikut :
kalau keadaan aliran Wahibiah seperti yang kami dengar dan kami ketahui, maka
kami adalah orang Wahibiah.
5. PENGARUH ALIRAN
WAHABIAH
Aliran
Wahabiah selain telah menimbulkan rasa kebencian pada lawan-lawannya, juga
telah memancarkan sinar yang menarik pandangan kaum muslimin, bukan saja dari
negeri Saudi Arabia sendiri, tetapi juga dari luar negeri itu. Banyak kaum
muslimin yang melakukan haji, setelah melihat keadaan aliran yang baru
tersebut, tertarik dengan ajaran-ajarannya dan setelah pulang ke negerinya masing
– masing mereka menyiarkan ajaran-ajaran tersebut.
Negeri-negeri
di mana ajaran-ajaran Wahibiaah berkembang ialah :
a. India
Di
Punjab (India Utara), Sayid Ahmad menciptakan negeri Wahibiah dan memaklumkan
jihad terhadap orang-orang yang tidak mempercayai dakwahnya serta masuk di
barisannya. Ia haji pada tahun 1822-1823 M. Juga di Bengal penyiaran Islam pada
abad yang sama mengalami kepesatan, karena pengaruh golongan Wahibiah.
b. Aljazair
Aliran
Wahibiah di negeri ini dibawa oleh Imam as-Sanusi
c. Mesir
Syekh
M. Abdil menyiarkan aliran Wahibiah, meskipun ia tidak mengikatkan diri
kepadanya semata-mata, karena ia menggali langsung pokok-pokok madzhab salaf,
sejak masa Rosul sampai kepada Ibnu Taimiah, dan sampai Muhammad bin Abdil
Wahab. Dasar-dasar pahamnya sama dengan dasar-dasar yang dipakai oleh aliran
Wahibiah.
d. Sudan
Orang
yang membawa paham Wahabiah ke negeri ini ialah Usman danfuju, terkenal sebagai
seorang pembaharu, panganjur dan pejuang. Ia pergi ke Mekkah untuk manunaikan
haji pada waktu aliran Wahibiah sedang mencapai puncak kepesatannya. Setalah
pulang ke negerinya jiwany penuh semangat untuk perbaikan agama dan dakwah
Islam, menurut konsepsi aliran tersebut.
e. Indonesia
Ajaran-ajaran
Wahibiah mula-mula di bawa ke Indonesia oleh tiga orang dari Sumatera barat
yang pergi haji pada tahun 1803 M. Ketika mereka berkunjung ke Madinah, mereka
tertarik sekali dengan gerakan Wahibiah. Setelah pulang ke negerinya,
ajaran-ajaran aliran tersebut diperkenalkan kepada penduduk negerinya. Namun
pada akhirnya gerakan mereka menjadi suatu peperangan yang terkenal dalam
sejarah Indonesia sebagai “Perang Padri”
BAB III
KESIMPULAN
Muhammad bin Abdil Wahab (1701 - 1793) lahir di Kampung Ainiyah (‘Ujainah), Najd, Arab Saudi.
Beliau berasal dari kabilah Bani Tamim. Beliau merupakan seorang ulama
pembaharuan dan ahli teologi agama Islam yang mengetuai gerakan salafiah. Aqidah-aqidah yang pokok dari aliran
Wahibiah antara lain : menyembah kepada selain Allah adalah salah, memberikan
ilmu tanpa dasar Al-Qur’an dan Hadis adalah kufur, tidak boleh menafsirkan
Al-Qur’an dengan jalan takwil, dilarang memakai buah tasbih dalam wirid.
Muhammad Abdil Wahab sendiri bekerja sama dengan pangeran Muhammad bin Sa’ud
dalam meyebarkan ajaranya. Dalam memerangi bid’ah aliran ini tidak segan-segam
meratakan kuburan orang-orang sholeh karena di anggap musrik bagi orang yang
berdoa di sekitarnya (tawasul). Aliran ini
mendapat kritik dari sebagian umat Islam karena tidak mengenal perasaan kaum
Muslimin, sebab kaum Muslimin dimanapun juga berbangga dengan kubur nabinya dan
mencintai sahabat-sahabatnya. Kritik yang lain ialah bahwa aliran
Wahabiah melalaikan kemajuan mental dan pikiran di negeri mereka sendiri serta
tidak berusaha mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman. Ajaran Wahabi sendiri
telah menyebar keberbagai belahan dunia antara lain, India, Aljazair, Mesir,
Sudan dan Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
A. Syihab, H. Akidah
Ahlus Sunnah, Jakarta : Bumi Aksara, 1998
Hanafi, A. Pengantar Teologi Islam, Jakarta :
PT. Al Husna Baru, 2003
www.wikipedia.com di akses pada tanggal 16
Juni 2012
[1] www.wikipedia.com
di akses pada tanggal 16 Juni 2012
[2] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, ( Jakarta : PT. Pustaka
Al-Husna baru, 2003) hal 189-190
[3] Ibid.
Hal. 190-192
[4] Z. A.
Syihab, Akidah Ahlus Sunah, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1998) Hal. 98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar