KODIFIKASI HADIS
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
STUDY HADIS
Disusun oleh kelompok 8
Kelas TI.D
FARID MIFTAHUL AZIS
210911133
Dosen Pengampu :
ANWAR MUJAHID
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONOROGO
APRIL 2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah berkat rahmat, taufik serta hidayah dari Allah SWT, saya dapat menyelesaikan tugas makalah Study Hadis dari Bapak Anwar Mujahid dengan lancar. Serta tidak lupa sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi pemberi teladan bagaimana mentransformasikan ide dan gagasan pada orang lain sehingga mudah diterima.
Makalah ini saya susun supaya kita dapat mengerti dan paham tentang sejarah dan perkembangan hadis. Makalah ini dengan judul “Kodifikasi Hadis I” memberi gambaran tentang perjalanan hadis itu sendiri, serta sebagaimana wacana agar kita dapat mengerti akan sejarah perkembangan hadis itu, yang mungkin sebagian dari kita banyak yang belum mengetahuinya.
Makalah ini disusun dan ditulis berdasarkan referensi dari berbagai buku rujukan. Selain itu untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul Hadis, makalah ini saya susun sebagai bahan acuan bagi Mahasiswa dalam menghadapi UTS dan UAS di lingkungan akademik kampus STAIN Ponorogo.
Demikian maksud dan tujuan penulisan makalah ini. Sebagai penutup penulis sangat mengharapkan tanggapan dan masukan-masukan dari pembaca untuk menyempurnakan makalah ini.
Ponorogo, 4 April 2012
| ||
Penyusun
| ||
DAFTAR ISI
Halaman sampul
Kata Pengantar_________________________________________________________ i
Daftar Isi______________________________________________________________ ii
BAB I
PENDAHULUAN______________________________________________________ 1
A. Latar Belakang___________________________________________________ 1
B. Rumusan Masalah ________________________________________________ 1
BAB II
PEMBAHASAN_______________________________________________________ 2
A. Proses Kodifikasi hadis____________________________________________ 2
1. Masa Sahabat___________________________________________ 2
2. Masa Tabi’in dan setelahnya________________________________ 3
3. Faktor-faktor yang mendorong kodifikasi_____________________ 5
BAB III
KESIMPULAN________________________________________________________ 6
DAFTAR PUSTAKA___________________________________________________ 7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri.
Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Oleh karena itu penulis akan mengupas tentang proses pembukuan hadis oleh para sahabat Nabi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses kodifikasi hadis pada masa sahabat?
2. Bagaimana proses kodifikasi hadis pada masa Tabi’in dan setelahnya?
3. Faktor apakah yang mendorong kodifikasi Hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
Membahas masalah kodifikasi hadis, yang dimaksud dengan kodifikasi hadis secara resmi ialah pengumpulan dan penulisan hadis-hadis atas perintah Khalifah atau penguasa daerah untuk disebarkan kepada masyarakat. Kendati terbuka peluang untuk membukukan hadis, tetapi dalam fakta sejarah, di masa sahabat belum ada kegiatan pembukuan hadis secara resmi yang diprakarsai oleh pemerintah. Umar bin Al-Khattab misalnya, pernah berfikir membukukan Hadis. Ia meminta para pendapat sahabat, dan disarankan untuk membukukannya. Tetapi setelah Umar bin Khattab beristikharah sebulan lamanya, ia membatalkan rencananya.[1]
Dari sinilah kebanyakan para peneliti Muslim berkesimpulan bahwa menuliskan al-Hadits secara lengkap tentu sulit, karena sama artinya dengan menuliskan setiap peristiwa dan keadaan yang menyertai Rasulullah. Para sahabat yang hidup menyertai Rasulullah bisa jadi merasa tidak perlu mencatat setiap peristiwa yang mereka alami bersama Rasulullah saw. Apa yang mereka alami akan terekam secara otomatis dalam ingatan mereka tanpa harus dicatat, karena mereka terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut. Selain itu tradisi menghafal ketika itu merupakan tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian lebih banyak terekam dalam bentuk hafalan.
Proses Kodifikasi al-Hadits
Masa Sahabat
Sebetulnya, kodifikasi (penulisan dan pengumpulan) hadis telah dilakukan sejak jaman para sahabat. Namun, hanya beberapa orang saja diantara mereka yang menuliskan dan menyampaikan hadis dari apa yang mereka tulis. Disebutkan dalam shahih al-Bukhari, di Kitab al-Ilmu, bahwa Abdullah bin ‘Amr biasa menulis hadis. Abu Hurairah berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak hadisnya dari aku kecuali Abdullah bin ‘Amr, karena ia biasa menulis sementara aku tidak.”
Namun, kebanyakan mereka hanya cukup mengandalkan kekuatan hafalan yang mereka miliki. Hal itu diantara sebabnya adalah karena di awal-awal Islam Rasulullah sempat melarang penulisan hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur`an. Dari Abu Sa’id al-Khudri, Bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah menulis dariku! Barangsiapa menulis dariku selain Al-Quran, maka hapuslah. Sampaikanlah dariku dan tidak perlu segan..” (HR Muslim)
Masa Tabi’in dan setelahnya
Tradisi periwayatan hadis ini juga kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh tabi`in sesudahnya. Hingga datang masa kepemimpinan khalifah kelima, Umar Ibn Abdul’aziz. Dengan perintah beliau, kodifikasi hadits secara resmi dilakukan.
Imam Bukhari mencatat dalam Shahihnya, kitab al-ilmu, “Dan Umar bin Abdul ‘aziz menulis perintah kepada Abu Bakar bin Hazm, “Lihatlah apa yang merupakan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tulislah, karena sungguh aku mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan lenyapnya para ulama.”
Ibnu Hajar mengatakan, “Dapat diambil faidah dari riwayat ini tentang permulaan kodifikasi hadis nabawi. Dahulu kaum muslimin mengandalkan hafalan. Ketika Umar bin Abdul aziz merasa khawatir padahal beliau ada di akhir abad pertama- hilangnya ilmu dengan meninggalnya para ulama, beliau memandang bahwa kodifikasi hadis itu dapat melanggengkannya.
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam tarikh ashfahan kisah ini dengan redaksi, “Umar bin Abdul ‘aziz memerintahkan kepada seluruh penjuru negeri, “lihatlah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kumpulkanlah.”
Diantara yang pertama kali mengumpulkan hadis atas perintah Umar bin Abdul ‘aziz adalah Muhammad bin Muslim, ibnu Syihab az-Zuhry, salah seorang ulama dari Hijaz dan Syam. Setelah itu, banyak para ulama yang menuliskan hadis-hadis Rasulullah dan mengumpulkannya dalam kitab mereka.
Di Mekah ada Ibnu Juraij (w 150 H) dengan kitab “as-sunan”, “at-Thaharah”, “as-shalah”, “at-tafsir” dan “al-Jaami”. Di madinah Muhammad bin Ishaq bin Yasar (w 151 H) menyusun kitab “as-sunan” dan “al-Maghazi”, atau Malik bin Anas (w 179 H) menyusun “al-Muwaththa”. Di Bashrah Sa’id bin ‘Arubah (w 157 H) menyusun “as-sunan” dan “at-tafsiir”, Hammad bin Salamah (w 168 H) menyusun “as-sunan”. Di Kufah Sufyan ast-Tsauri (w 161 H) menyusun “at-Tafsir”, “al-Jami al-Kabir”, al-Jami as-Shaghir”, “al-Faraaidh”, “al-Itiqad”
Semuanya adalah para ulama di abad ke dua. Kumpulan hadis yang ada pada mereka masih bercampur dengan perkataan para sahabat dan fatwa para ulama tabi’iin. Begitulah juga penulisan hadis ini menjadi tradisi ulama setelahnya di abad ke tiga dan seterusnya. Hingga datang zaman keemasan dalam penulisan hadis. Ia adalah periode Kitab Musnad Ahmad dan kutub sittah. Diantaranya adalah dua kitab shahih. Al-Imam al-Bukhari, seorang ulama hadis jenius yang memiliki kedudukan tinggi, menulis dan mengumpulkan hadis-hadis shahih dalam satu kitab yang kemudian terkenal dengan nama “shahih al-Bukhari”. Diikuti setelahnya oleh al-Imam Muslim dengan kitab “shahih muslim”.[2]
Dengan memperhatikan tanggapan tersebut dapat dinyatakan bahwa pendapat sebagian kalangan orientalis ( suatu gerakan yang timbul di zaman modern, pada bentuk lahirnya besifat ilmiyah, yang meneliti dan memperdalam masalah ketimuran tetapi dibalik penelitian masalah ketimuran itu mereka berusaha memalingkan masyarakat timur dari kebudayaan timurnya ) tentang perhimpunan hadis nabi diatas tidak memilki dasar yang kuat dan cenderung berlebihan. Hal ini dimungkinkan karena pengetahuan mereka tentang sejarah penghimpunan hadis yang masih dangkal.
Dalam kedudukanya sebagai orientalis wajarlah apabila sarjana-sarjana Barat sekedar menyampaikan kritik atau melakukan dekonstruksi sejarah islam, tetapi mereka tidak berkepentinagan melakukan rekonstruksi islam. Upaya yang terahir ini seharusnya menjadi tanggug jawab umat Islam sendiri setelah menyadari kekurangan dan kelemahanya.[3]
Faktor-faktor yang mendorong kodifikasi
Ada beberapa hal yang mendorong ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menulis hadis, diantaranya adalah :
1. Tidak ada lagi kekhawatiran bercampurnya hadis dengan Alquran, karena Alquran ketika itu telah dibukukan dan disebarluaskan.[4]
2. Munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadis karena banyak para sahabat yang meninggal dunia akibat usia atau karena seringnya terjadi peperangan.
3. Semakin maraknya kegiatan pemalsuan hadis yang dilatar belakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Proses kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan al-Hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan al-Hadits, karena kegiatan penulisan al-Hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai sumber referensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Tentang adanya larangan penulisan Hadits hal ini patut dimaknai larangan secara khusus yaitu menuliskan al-Hadits bersama al-Quran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan al-Hadits sehingga mengesampingkan al-Quran. Ada beberapa faktor yang mendorong kodifikasi hadis diantaranya seperti yang disebutkan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Arifuddin, Memahami Hadis Nabi, Jakarta : Renaisan, 2005
Nawer, Yuslim, Ulumul Hadis, Jakarta : PT. Mutiara Widya, 2001
Zuhri, Muhammad, Hadis Nabi, Yogyakarta : Tiara wacana yogya, 2003
http://sabilulilmi.wordpress.com/2010/03/27/sejarah-singkat-kodifikasi-hadis/ di akses pada tanggal 14 maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar