ONTOLOGI
Makalah Ini
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
FILSAFAT
UMUM
Disusun oleh kelompok
6 / Kelas TI.D
FARID MIFTAHUL AZIS 210911133
(Pemateri)
DANANG GHUFRON ANAJI 210911136
(Notulis)
MUHAMMAD AFTON M 210911142 (Moderator)
Dosen
Pengampu :
Drs. WARIS
JURUSAN
TARBIYAH
PRODI
PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PONOROGO
APRIL 2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
berkat rahmat, taufik serta hidayah dari Allah SWT, kami dapat menyelesaikan
tugas makalah Filsafat Umum dari Bapak Waris dengan lancar. Serta tidak lupa
sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi
pemberi teladan bagaimana mentransformasikan ide dan gagasan pada orang lain
sehingga mudah diterima.
Makalah
ini kami susun supaya kita dapat mengerti dan paham tentang salah satu materi filsafat
Umum. Makalah ini dengan judul “Ontologi” memberi gambaran tentang ilmu keberadaan seseuatu , serta sebagaimana
wacana agar kita dapat mengerti akan bagaimana sesuatu itu ada dan terwujud,
yang mungkin sebagian dari kita banyak yang belum mengetahuinya.
Makalah
ini disusun dan ditulis berdasarkan referensi dari berbagai buku rujukan.
Selain itu untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Umum, makalah
ini kami susun sebagai bahan acuan bagi Mahasiswa dalam menghadapi UTS dan UAS
di lingkungan akademik kampus STAIN Ponorogo.
Demikian
maksud dan tujuan penulisan makalah ini. Sebagai penutup penulis sangat
mengharapkan tanggapan dan masukan-masukan dari pembaca untuk menyempurnakan
makalah ini.
|
|
Ponorogo, 4
April 2012
|
|
|
|
|
|
Penyusun
|
DAFTAR ISI
Halaman Sampul________________________________________________________ i
Kata Pengantar_________________________________________________________ ii
Daftar Isi______________________________________________________________ iii
BAB I
PENDAHULUAN______________________________________________________ 1
A. Latar Belakang___________________________________________________ 1
B. Rumusan Masalah ________________________________________________ 1
BAB II
PEMBAHASAN_______________________________________________________ 2
1. Pengertian ontologi________________________________________________ 3
2. Sejarah munculnya ontologi_________________________________________ 3
3. Aliran-aliran ontologi______________________________________________ 4
4. Metode dalam onlogi______________________________________________ 8
5. Manfaat mempelajari ontologi_______________________________________ 8
BAB III
KESIMPULAN________________________________________________________ 9
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam makalah ini akan
memaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat, yang salah satunya adalah
ontologi, cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana
wujud yang hakiki dari objek tersebut ? Bagaimana hubungan antara objek tadi
dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang
membuakan pengetahuan.
Ontologi ini pantas dipelajari
bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna
bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika,
ilmu teknik dan sebagainya). Oleh karena itu kami akan membahas materi ontologi
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah ontologi itu?
2.
Bagaimana sejarah munculnya
ontologi itu?
3.
Berapa aliran dalam ontologi?
4.
Ada berapa metode dalam ontogi?
5.
Apa manfaat mempelajari ontologi?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Ontologi
Ontologi :
Inggris Ontology ; dari Yunani On, ontos (ada, keberadaan) logos (studi, ilmu
tentang). Arab : nadzariat Alwujud
Beberapa
pengertian Ontologi:
a) Cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalm
arti seluas mungkin, yang menggunakan katagori-katagori seperti : ada/menjadi,
aktualitas/potensialitas, nyata/tampak, perubahan, waktu
eksistensi/noneksistensi, esensi, keniscayaan yang-ada sebagai yang-ada, ketergantungan
pada diri sendiri, hal mencukupi diri sendiri, hal-hal terahir dan dasar.[1]
b) Cabang filsafat yang mencoba, a). Melukiskan hakekat Ada yang
terahir (yang satu, yang absolut, bentuk
abadi sempurna). b). Menunjukkan bahwa segala hal tergantung padanya bagi
eksistensinya, c). Menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual
dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu.[2]
c)
Cabang filsafat, a). Yang
melontarkan pertanyaan “Apa arti “Ada”, “berada”?” yang menganalisis bermacam-macam makna yang
memungkinkan hal-hal dapat dikatakan “ada”, “benda”.
d)
Cabang filsafat yang, a).
Menyelidiki status realitas suatu hal (misalnya. “Apakah objek persepsi kita
nyata atau bersifat ilusif? ”apakah bilangan itu nyata ?” “apakah pikiran itu
nyata?” b). Menyelidiki jenis relitas yang dimiliki hal-hal (misalnya, apa jenis
relitas yang dimiliki bilangan? Persepsi? Pikiran?”) c). Yang menyelidiki
realitas yang menentukan apa yang menentukan apa yang kita sebut “realitas”
dan/atau “ilusi” (misalnya. “apakah realitas – atau ciri ilusif – suatu pikiran
atau obkek tergantung pada pikiran kita, pada suatu sumber eksternal yang
indepanden.[3]
e) Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani.
Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani
yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales,
Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan
orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales
terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air
merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun
yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu
berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap
ada berdiri sendiri).[4]
2.
Sejarah munculnya
Ontologi
Istilah “ontologi” muncul sekitar
pertengahan abad ke-17 juga pada waktu itu ungkapan filsafat mengenai yang-ada
(philosopia entis) digunakan dalam hal yang sama. Menurut akar kata
Yunani, Ontologi berarti : teori mengenai ada yang berada. Karena itu, orang
bisa menyamakan ontologi dengan filsafat pertama Aristoteles, yang kemudian
disebut metafisika (murni atau umum). Namun, pada kenyataannya ontologo hanya
merupakan bagian pertama metafisika. Yakni, teori mengenai yang-ada, yang
berada secara terbatas sebagaimana adanya dan apa yang secara hakiki dan secara
langsung termasuk ada tersebut.
Sebagaimana diketahui Aristoteles dan Thomas pada zaman dulu, studi mengenai
eksistensi dan studi mengenai Allah merupakan satu ilmu saja. Karena problem
tentang Allah hanya merupakan problem tentang eksistensi yang dikembangkan
secara lebih maju. Dan problem yang disebutkan terakhir ini tidak lain dari
pada problem tentang Allah yang lebih maju. Namun, karena eksistrensi dan Allah memisahkan diri satu dari
yang lain sebagai dua kutub, mungkinlah untuk terutama berkonsentrasi pada
eksistensi. Dan karena itu kita tiba pada pada ilmu tentang ontologi.
Karena ontologi menjadi suatu cabang
khusus pengetahuan-teristimewa melalui karya Christian Wolff – hubungan antara
eksistensi dan Allah dalam pemikiran moderen menjadi sangat berbelit-belit.
Kant membuang sekaligus pengetahuan tentang Allah dan pengetahuan mengenai
eksistensi, karena dalam pandanganya eksistensi tidak bisa diketahui. Dia
melihat dalam kesadaran manusia kenyataan terakhir. Segala sesuatu lainya harus ditelusuri
kembali pada kenyataan terakhir. Bertentangan dengan Kant, dalam abad ke-20
telah tumbuh suatu ontologi baru yang berasal dari neo-Kantianisme dan filsafat
eksistensial – sebuah ontologi yang sekali lagi mengambil eksistensi sebagai
yang terakhir. Demikian pula, Nikolai Hartmann menutup pintu ontologisnya bagi
gagasan tentang Allah dan eksistensi yang dianggap Heidegger sebagai dasar
eksisten terbatas yang seluruhnya tetap tidak dapat dijelaskan. Apa yang
dituntut dari ontologi pada masa kini adalah; menjelaskan dan menilai pemikiran
awal ini; mengatasi semua hambatan rasionalistis dan rintangan Kant.
Pada taraf yang lebih dalam, nama
“ontologi” menunjukkan hubungan antara
eksisten dan roh. Karena roh tampak sebagai tempat dari eksisten sebagaimana
adanya atau di dalam eksistensinya, eksisten mewujudkan dirinya. Karena itu roh
muncul sebagai jenis eksistensi primordial di mana eksistensi sunguh-sungguh
merupakan dirinya sendiri, dan hadir sebagai dirinya sendiri. Karena itu, semakin suatu eksisten mendekati
roh atau merupakan roh, semakin tinggi pula tingkatan/skala
eksistensi-eksistensi itu. Dalam tahun-tahun belakangan ini terdapat
kencenderungan untuk semakin lama semakin memisahkan eksistensi dari roh dan
tidak adanya roh telah dianjurkan sebagai ukuran tungkatan eksistensi (sartre).[5]
3. Aliran-aliran Ontologi
Dalam
mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan
aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan
beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang
ada itu? (What is
being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah
yang ada itu? (What is being?)”.
Apakah yang ada itu? (What is being?)
Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir lima
filsafat, yaitu sebagai berikut :
- Aliran Monoisme
Aliran
ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu
hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun
berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri
sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan
menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa
dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan
kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block
Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
A. Materialisme
Aliran
ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran
ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat
mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.
Aliran
pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia
berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan.
Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan
alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370
SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak
jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan
asal kejadian alam.
B. Idealisme
Idealisme
diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir
dalam jiwa.[10] Aliran
ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak
tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik.
Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan
bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik
akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.
Dalam
perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan
teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu
konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini
hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi
hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
2.
Aliran Dualisme
Aliran
ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan
spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri,
sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam
ini.
Tokoh
paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat
modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani)
dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours
de la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia
(1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito
Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping
Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm
von Leibniz (1646-1716 M).
3.
Aliran Pluralisme
Aliran
ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya
nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan
sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak
unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh
aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang
menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur,
yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James
(1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang
berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal
yang mengenal.
4.
Aliran Nihilisme
Nihilisme
berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah
doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah
nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.
Doktrin
tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada
pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas.
Pertama,
tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia
tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu
dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam
pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata
manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di
mana ia hidup.
5. Aliran Agnostisisme
Paham
ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik
hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa
Grik
Agnostos, yang berarti unknown. A
artinya not,
gno
artinya know.
Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu
menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat
kita kenal.
Aliran
ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti,
Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak
Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup
sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku
individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam
sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M),
yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya
manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul
Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat
beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre
(akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan
terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani. [6]
4. Metode dalam Ontologi
Lorens
bagus memperkenalkan 3 tingkat abstraksi dalam Ontologi yaitu: abstraksi fisik,
abstraksi bentuk, dan abstraksi metafisik. Abstraksi fisik menampilkan
keseluruhan sifat khas suatu objek. Sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan
sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metafisik
mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang
dijangkau Ontologi adalah abstraksi metafisik.[7]
5. Manfaat mempelajari ontologi
Ontologi yang merupakan salah satu kajian filsafat
ilmu mempunyai beberapa manfaat, di antaranya sebagai berikut:
- Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai bangunan sistem pemikiran yang ada.
- Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai eksisten dan eksistensi.
- Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah keilmuan maupun masalah, baik itu sains hingga etika.[8]
BAB III
KESIMPULAN
Dari
penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa ontologi merupakan salah satu
diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Ontologi berasal
dari bahasa Yunani yang berarti teori tentang keberadaan sebagai keberadaan.
Pada dasarnya, ontologi membicarakan tentang hakikat dari sutu benda/sesuatu.
Hakikat disini berarti kenyataan yang sebenarnya (bukan kenyataan yang
sementara, menipu, dan berubah). Misalnya, pada model pemerintahan demokratis
yang pada umumnya menjunjung tinggi pendapat rakyat, ditemui tindakan
sewenang-wenang dan tidak menghargai pendapat rakyat. Keadaan yang seperti
inilah yang dinamakan keadaan sementara dan bukan hakiki. Justru yang hakiki
adalah model pemerintahan yang demokratis tersebut.
Dalam
ontologi ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran, yaitu monoisme,
dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme. Monoisme adalah paham yang
menganggap bahwa hakikat asalnya sesuatu itu hanyalah satu. Asal sesuatu itu
bisa berupa materi (air, udara) maupun ruhani (spirit, ruh). Dualisme adalah
aliran yang berpendapat bahwa asal benda terdiri dari dua hakikat (hakikat
materi dan ruhani, hakikat benda dan ruh, hakikat jasad dan spirit). Pluralisme
adalah paham yang mengatakan bahwa segala hal merupakan kenyataan. Nihilisme
adalah paham yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Dan
agnostisisme adalah paham yang mengingkari terhadap kemampuan manusia dalam
mengetahui hakikat benda.
Jadi,
dapat disimpulakan bahwa ontologi meliputi hakikat kebenaran dan kenyataan yang
sesuai dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari perspektif filsafat
tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu. Adapun monoisme,
dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme dengan berbagai nuansanya,
merupakan paham ontologi yang pada akhirnya menentukan pendapat dan kenyakinan
kita masing-masing tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Faruk, Ahmad. Filsafat Umum, Ponorogo : STAIN
Ponorogo Press, 2009.
Muhadjir, Noeng. Filsafat Ilmu, Yogyakarta :
Rake Sarasin, 1998.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ontologi
diakses pada tanggal 3 April 2012
http://blog.uin-malang.ac.id/nita/2011/01/25/ontologi-dalam-filsafat-ilmu/
diakses pada tanggal 3 April 2012
[1]
Ahmad faruk, Filsafat Umum,(Ponorogo : STAIN Ponorogo Press,2009). hal.72-
72
[2]
Ibid
[3]
Ibid
[5]
Ahmad faruk, Op. cit. hal.78-80
[6] http://blog.uin-malang.ac.id/nita/2011/01/25/ontologi-dalam-filsafat-ilmu/
[7]
Noeng muhadjir, Filsafat Ilmu, (Ponorogo: Rake Sarasin, 1998) hal. 50
[8] http://blog.uin-malang.ac.id/.
Op. Cid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar